Powered By Blogger

Kamis, 14 April 2011

ACFTA : DIMANA PERANAN PEMERINTAH TERHADAP KEBERLANGSUNGAN USAHA RAKYAT

Dinamika dan perkembangan perekonomian dunia saat ini menuju ke globalisasi perdagangan internasional. Globalisasi perdagangan menciptakan kerjasama antar regional dalam mewujudkan perdagangan bebas "free trade" antar kawasan. Asean China Free Trade Area (ACFTA) merupakan wujud dari regionalisasi dan perdagangan bebas di kawasan ASEAN yang juga melibatkan China sebagai mitra kerjasama. ACFTA telah membentuk zona bebas perdagangan untuk komoditi ekspor dan impor untuk kawasan ASEAN dan China. Dimana pengenaan pajak ekspor dan import dihilangkan dan kerjasama perdagangan lebih ditingkatkan.

ACFTA ternyata menimbulkan implikasi terhadap perubahan struktur perdagangan dalam negeri disetiap negara yang terlibat ACFTA. Terutama serbuan produk China yang sangat luar biasa yang berdampak besar terhadap perkembangan produksi dalam negeri. Ini sangat dirasakan sekali bagi dunia usaha di Indonesia. Serbuan produk China menghancurkan dunia usaha terutama UMKM di Indonesia.

Sejak diberlakukannya ACFTA,terjadi penurunan produksi dari produk UMKM sebesar 20-40 % yang ini menimbulkan efek terhadap keberlanjutan UMKM dan penyerapan tenaga kerja. Produk UMKM Indonesia ternyata sulit bersaing dengan produk-produk buatan China yang sangat kompetitif. Malahan produk-produk spesifik Indonesia yang dulu menjadi primadona dan hanya diproduksi oleh Indonesia dan diminati oleh konsumen dalam dan luar negeri seperti batik, kerajinan rotan, kerajinan ukiran dan beberapa produk tekstil ternyata sekarang bukan lagi menjadi produk primadona yang kompetitif karena China pun mampu memproduksinya lebih efisien sehinga produk yang dihasilkan lebih kompetitif.

Banyak aspek sebenarnya yang menyebabkan kalah bersaingnya produk-produk dalam negeri dengan produk China. Kita jangan selalu menyalahkan kemampuan industri dalam negeri yang tidak kompetitif dan lemahnya sumberdaya manusia dan teknologi di UMKM. Tapi kelemahan utama yang perlu dikaji adalah lemahnya peranan pemerintah dalam menciptakan dan menumbuhkan iklim industri yang mendukung keunggulan bersaing bagi produk dalam negeri. Pemerintah tidak fokus dalam memperbaiki kondisi ini.

Persoalan infrastruktur merupakan kendala utama terhambatnya perkembangan dunia industri dan UMKM di Indonesia. Bagaimana kita bisa menciptakan produk yang kompetitif sedangkan infrastruktur pendukung saja sangat minim. Ini menjadikan biaya produksi menjadi lebih tinggi. Tingkat suku bunga pinjaman juga sangat tinggi dibandingkan di China dan negara ASEAN lainnya. Sehingga begitu sulit dunia usaha melakukan investasi dengan suku bunga yang tinggi tersebut. Selain sulit juga bagi UMKM pembiayaan tersebut juga sulit untuk diakses.

Balum lagi persoalan perizinan yang sangat menyulitkan bagi kalangan usaha. Selain lama, perizinan usaha juga memakan biaya yang cukup besar ditambah dengan punggutan-punggutan liar lainnya. Bandingkan dengan China dimana hanya dibutuhkan waktu dua hari untuk mengurus semua perizinan usaha. Kebijakan mengenai perpajakan dan retribusi usaha juga berkembang secara liar dibawah regulasi pemerintah yang salah. Semuanya melibatkan pemerintah itu sendiri.

Perlindungan terhadap produk dalam negeri juga sangat lemah. Masih banyak produk-produk dalam negeri yang tidak memiliki standarisasi (Standarisasai Nasional Indonesia/SNI) sehingga membuka kran seluasnya bagi produk yang sama untuk masuk ke Indonesia tanpa standarisasi. Perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual (HKI) juga menjadi penyebab kalahnya produk domestik terhadap produk China. Di Indonesia pengurusan HKI membutuhkan waktu 18 bulan sedangkan di China hanya 1 bulan sehingga ada beberapa produk yang asli Indonesia ternyata di patenkan oleh China. Kembali lagi pemerintah gagal memberikan perlindungan bagi kalangan usaha di Indonesia.

Banyak lagi kegagalan pemerintah dalam melindungi pasar lokal dari serbuan produk China dan ASEAN. Ternyata pemerintah gagal berperan menciptakan kekuatan dunia usaha dalam ACFTA dan kita diserbu oleh produk-produk impor terutama dari China yang pada akhirnya akan mematikan dunia usaha di Indonesia terutama bagi industri dan UMKM.

Selasa, 12 April 2011

PROSES LIBERALISASI DI INDONESIA


Tidak jelas kapan sebenarnya globalisasi dan liberalisasi di mulai di Indonesia. Banyak kasus-kasus yang melanda pembangunan di Indonesia dan mengarahkan pola pembangunan di Indonesia masuk kedalam kancah globalisasi dan liberalisasi. Pertama, adanya tekanan dari luar (faktor eksternal) yang berubah dengan cepat yang mengharuskan negara-negara di dunia untuk melakukan penyesuaian terhadap perubahan tersebut. Perubahan pembangunan international seperti diuraikan sebelumnya mengarah pada globalisasi dan liberalisasi pembangunan dunia. Kedua, tekanan dari kondisi dalam negeri Indonesia yang keluar dari sistem dirigisme pemerintah terhadap kebijakan pembangunan yang ternyata gagal dalam membangun Indonesia.

Dari dua faktor inilah perubahan paradigma pembangunan di Indonesia mulai diarahkan pada sistem globalisasi dan liberalisasi. Bila sejarah menjadi acuan kapan Indonesia memulai globalisasi dan liberalisasi. Tercatat ketika tekanan dunia international yang berasal dari krisis harga minyak tahun 1980an yang berimbas terhadap pengurangan penerimaan negara dan depresiasi mata uang dengan turunya nilai dolar yang menyebabkan bertambahnya pembayaran hutang Indonesia maka era globalisasi dan liberalisasi mulai dilakukan oleh Indonesia dalam kebijakan pembangunan (Booth, 1992; Aswicahyo & Anas, 2001; Basri, 2001; Marallanggeng, 2003; Hill, 2003; Soesastro, 2004).

Kegagalan pemerintah dalam menghadapi kondisi ini akibat dari kebijakan pembangunan dan ekonomi yang bersifat sentralistik pada sistem pemerintah dengan campur tangan yang besar terhadap setiap kebijakan pembangunan dan ekonomi. Setelah peristiwa Malari dan Boom Oil, Indonesia yakin akan kemampuan perekonomian yang akan bangkit menjadi kekuatan ekonomi Asia. Keyakinan ini membuat Indonesia melakukan proteksi terhadap investasi asing dan menjalankan strategi subsitutsi impor dengan proteksi terhadap industri yang baru berdiri atau infant-industry (Anas & Roesad, 2003; Mallarangeng, 2003; Sadli, 2003). Tapi tekanan yang besar pada tahun 1980an membuat kebijakan tersebut tidak lagi layak untuk dijalankan. Masuklah Indonesia pada era globalisasi dan liberalisasi ekonomi. Dimulai dengan deregulasi perbankan pada tahun 1983 sampai masuknya Indonesia sebagai anggota APEC dengan pernyataan tegas dari Soeharto yang menyatakan bahwa Indonesia siap untuk masuk kedalam perdagangan bebas dunia maka mulai globalisasi dan liberalisasi berjalan dalam kerangka kebijakan pembangunan dan ekonomi di Indonesia (Booth, 1992; Basri, 2001; Soesastro, 2003; Soesastro, 2004).

PERDEBATAN LIBERALISASI DALAM KERANGKA KEADILAN EKONOMI


Globalisasi identik dengan liberalisme yang dianut sistem kapitalisme. Dilihat dalam sejarah pemikiran ekonomi, ada sistem ekonomi merkantilisme yang berkembang tahun 1800an di Eropa. Paham merkantilisme menempatkan emas sebagai sumber kemakmuran dan perdagangan dijalankan untuk mengumpulkan emas tersebut. Untuk menumpuk emas, negara-negara di Eropa mengarunggi lautan untuk mencari daerah yang kaya sumberdaya alam untuk dieksploitasi dan diperdagangkan. Merkantilisme menimbulkan imperialisme atau penjajahan oleh negara Eropa ke daerah-daerah di Afrika, Asia dan Amerika. Imperialisme menyebabkan penindasan dan pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Imperialisme berakhir dengan kemerdekaan beberapa negara Afrika, Asia dan Amerika pada dekade 1900an.

Berakhirnya imperialisme, oleh sebagian pengamat ekonomi belum mengakhiri penindasan. Aliran Klasik yang dipelopori Adam Smith dan diikuti oleh pengikutnya mengembangkan aliran yang menganut prinsip kapitalisme yang memunculkan liberalisasi ekonomi. Dalam aliran kapitalisme, keberlanjutan ekonomi dimainkan dalam kebebasan pasar dan kekuatan modal. Hak-hak individu ditempatkan ditempat yang lebih tinggi dan regulasi serta campur tangan pemerintah dibatasi agar ekonomi bisa berjalan baik. Kapitalisme memunculkan kekuasaan pada sekelompok orang yang memiliki akumulasi modal yang besar. Sedangkan masyarakat kecil menjadi tertindas. Sebagian pengamat melihat ini semacam imperialisme modern yang mirip dengan masa kolonialisme. Praktek-praktek inilah yang membuat sebagian orang anti akan globalisasi.

Adilkah liberalisasi secara ekonomi ? Dalam praktek ini ibarat dua sisi mata uang yang saling menimbulkan efek positif dan efek negatif. Berkembanganya liberalisasi ekonomi yang mengarah pada paham-paham liberalisasi merupakan sebuah tuntutan tatanan dunia baru. Tidak dapat dipungkiri bahwa secara sosial, manusia haruslah menjalin sistem kerjasama dan semakin tinggi kerjasama manusia semakin cepat perubahan dalam kehidupan, ini berlaku secara alamiah dalam peradaban manusia. Ketika kondisi ini terjadi dan didorong oleh perubahan dunia pendidikan yang semakin maju, teknologi berkembang pesat dan ketidakmerataan kekayaan alam maka munculah globalisasi yang mendorong lepasnya sekat-sekat wilayah dan kecepatan kerjasama manusia secara global.

Sejarah munculnya liberalisme diawali dari keingginan para pemikir ekonomi yang melihat gejala dari sebuah sistem kolektivisme dari model ekonomi sosialis yang berkembang pada tahun 1930an. Sebagian besar pemikir ekonomi pada waktu itu melihat gejala ini tidak akan membawa perubahan dalam tatanan ekonomi dunia. Paham sosialisme waktu itu bukan membentuk welfare society seperti dasar utama ekonomi sosialis justru mendorong kembali kemunduran ekonomi dunia. Dimulai melalui pertemuan di Mont Pelerin daerah pergunungan di Swiss oleh kelompok-kelompok pemikir ekonomi seperti Friedrich August von Hayek, Milton Friedmen, George Stigler, Karl Popper, Asron Director, Lionel Robbins, Walter Euchen Erich Eyck, Wilhelm Ropke, Ludwig von Misses dan lain-lain (disebut dengan The Mont Pelerin Society/MPS), mereka merancang sebuah sistem yang akan memberikan kesejahteraan bagi semua masyarakat (Heertz, 2003; Priyono, 2003; Pontoh, 2005). Friedrich Hayek dan Milton Friedmen terus membentuk teori-teori baru ekonomi yang memasukan pendidikan dan teknologi kedalam sistem ekonomi. Ini berkembang menjadi teori human capital yang mengatakan bahwa investasi manusia akan mendatangkan pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi dan sustainable. Diikuti oleh perkembangan pendidikan yang cepat dan teknologi tinggi maka percepatan ekonomi sangat terasa dan memberikan perubahan terhadap kesejahteraan masyarakat.

Disinilah liberalisasi memainkan peranan. Liberalisasi dengan perkembangan dunia pendidikan dan teknologi menciptakan kekuatan baru dalam perekonomian. Muncul korporasi-korporasi yang memberikan perubahan terhadap sektor produksi dan perbaikan mekanisme perdagangan dunia (McCulloch, 2002; Edward, 2003). Beberapa negara yang selama ini tidak berada dalam peta ekonomi dunia dengan adanya liberalisasi menjadi kekuatan baru ekonomi seperti beberapa negara Asia, Amerika dan Afrika yang kaya sumberdaya alam. Berada pada kondisi bahwa masing-masing negara memiliki keunggulan sendiri atau comperative advantages maka liberalisasi mendorong intensitas yang tinggi dalam kerjasama antar negara. Untuk memudahkan bentuk kerjasama tersebut maka dibuatlah regulasi yang menghapus sekat-sekat teritorial dan mempercepat sistem tukar menukar antar negara, inilah yang disebut globalisasi. Sistem ini mampu berjalan dengan baik sehingga muncul perbaikan kualitas produksi, penyerapan tenaga kerja, perpindahan modal, transfer teknologi dan kesejahteraan (McCulloch, 2002; Edward, 2003; Adelman, 2003; Petri, 2002). Negara-negara seperti Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, Malaysia, Indonesia, Argentina, Bolivia, Brasil dan lainnya yang selama ini tidak ada dalam peta ekonomi dunia menjadi kekuatan baru ekonomi ketika liberalisasi berjalan pada dekade 1970an.

Globalisasi dan liberalisasi yang berjalan menciptakan tatanan ekonomi yang lebih adil dan sejahtera. Hegemoni dua kekuatan ekonomi dunia Amerika Serikat dan Inggris mulai sedikit berkurang karena adanya prinsip liberalisme yang berkeadilan. Disinilah malapetaka liberalisme terjadi. Amerika Serikat dan Inggris yang melihat gejala tidak baik dalam perekonomian mereka terutama penguasaan terhadap perekonomian global mulai menunjukan kekuatan politik dalam setiap regulasi international. Policital economic inilah yang mengarahkan liberalisme ke dalam new kolonialisme. Reagen dan Theatcher yang memimpin Amerika Serikat dan Inggris merubah kebijakan ekonomi nasional dengan memasukan kekuasaan politik mereka kedalam tatanan sistem ekonomi global. Dengan kekuatan politik tersebut dan didukung kekuatan modal, Amerika Serikat dan Inggris melakukan perubahan yang besar kedalam badan international seperti World Bank, IMF dan WTO. Tiga organisasi international inilah yang menjadi motor pengerak utama bagi kekuasaan ekonomi Amerika Serikat dan Inggris.

Melalui Konsensus Washington dengan mengunakan World Bank dan IMF sebagai motor pengerak secara international, Amerika Serikat dan Inggris mulai memainkan paham-paham neoliberalisme mereka. Dibawah pengaturan World Bank dan IMF, dunia semakin menglobal dan sekat-sekat teritorial tidak kelihatan dalam lintas negara. Tapi ini berjalan dengan menciptakan ketimpangan dan jurang yang besar dalam sistem ekonomi global (Stiglitz, 2002; Stiglitz, 2006; Heertz, 2003, Wibowo, 2003, Prasetiantono, 2003). Dengan kekuatan modal, negara-negara kaya seperti Amerika Serikat dan Inggris mencengkram kuat negara-negara miskin. Ini mirip dengan kondisi kolonialisme dulu, bedanya saat kolonialisme abad 17 dan 18 senjata menjadi kekuatan, kini ekonomi yang menjadi kekuatan. Negara-negara dengan kekuatan ekonomi yang lemah tunduk pada kebijakan negara kaya, inilah penghisapan baru yang disebut neo kolonialisme. Cengkraman ini semakin kuat ketika, korporasi besar mulai ikut menjalankan neoliberalisme dalam tatanan perkonomian dunia. Heertz (2003) mengatakan tidak ada satu pun negara di dunia ini bebas dari neoliberalisme. Ini kekuatan maha besar yang terjadi saat ini dalam dunia international.

Senin, 11 April 2011

ORANG TERKAYA DAN TERMISKIN DI INDONESIA

Majalah Forbes kembali merilis orang terkaya di Indonesia tahun 2011, berikut ini merupakan 5 orang terkaya di Indonesia versi Majalah Forbes yang diantaranya :
  1. (208 dunia) R. Budi Hartono dan Michael Hartono, 70 tahun, US$5 miliar rokok dan perbankan
  2. (304) Low Tuck Kwong, 62, US$3.6 miliar batu bara
  3. (420) Martua Sitorus, 51, US $2.7 miliar kelapa sawit
  4. (488) Peter Sondakh, 59, US$2.4 miliar investasi
  5. (564) Sri Prakash Lohia, 58, US$2.1 miliar polyester 
Mereka berada diantara potret kemiskinan yang sangat memilukan seperti yang dilihat dari gambar berikut :







Sungguh memilukan, ternyata pembangunan ekonomi di Indonesia telah menciptakan jurang antara kelompok kaya dengan kelompok miskin. Liberalisasi dan kapitalisme telah mewujudkan ketidakadilan dalam akses ekonomi masyarakat. Orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin. Sudah saatnya rezim neoliberalisme ini diberantas dan mengembalikan cita-cita pendiri bangsa ini mewujudkan ekonomi kerakyatan yang berkeadilan. Dan membawa semua rakyat pada kesejahteraan bersama.

Minggu, 10 April 2011

MAFIA PERBANKAN DAN OTORITAS JASA KEUANGAN

Maraknya kasus di dunia perbankan saat ini seperti kasus Bank Century, pembobolan dana nasabah yang melibatkan Malinda Dee sampai terbunuhnya seorang nasabah (Irzen Octa) oleh Debt Collector merupakan contoh buram dan carut marutnya dunia perbankan di Indonesia. Ini sudah sangat meresahkan dan cukup besar implikasinya terhadap stabilitas ekonomi nasional. Kalau ini didiamkan maka mafia perbankan ini akan mengerogoti terus dan dapat menimbulkan ketidakpercayaan investor terhadap Indonesia.

Kenapa ini muncul dan dibiarkan tanpa melakukan kebijakan yang mampu mengatasi persoalan ini. Pada intinya, kesalahan utama terjadinya mafia perbankan di Indonesia adalah lemahnya sistem pengawasan perbankan yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI). BI seharusnya mampu menjadi pengawas yang baik terhadap dunia perbankan. Peranan BI sebagai lembaga pengawasan perbankan memiliki kekuatan dalam menindak semua mafia-mafia yang ada dalam dunia perbankan. Ternyata selama ini BI tidak melakukan fungsi tersebut karena beban kerja yang besar dari BI (selain fungsinya sebagai pengawasan perbankan, BI juga merupakan lembaga yang bertanggung jawab terhadap otoritas moneter), selain didalam lembaga BI sendiri juga subur praktek-praktek mafia perbankan.

Terlepas adanya mafia perbankan dalam tubuh BI dimana good governance tidak berfungsi baik di dalam institusi, kita pun harus berpikir kembali terhadap tugas dan tanggung jawab BI yang dirasakan sangat besar. Kita perlu kembali memisahkan antara otoritas moneter dengan otoritas jasa keuangan. Ini merupakan ide yang dirasakan sangat mendesak dilakukan karena persoalan-persoalan mafia perbankan sudah sangat meresahkan dan mengguranggi kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan. Ide membentuk satu lembaga khusus yang berfungsi sebagai otoritas jasa keuangan merupakan sebuah jawaban dalam memperbaiki sistem pengawasan perbankan di Indonesia.

Untuk itu Pemerintah dan DPR perlu kembali memikirikan UU Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang terus tertunda-tunda. Disini kita lihat bahwa BI sudah gagal menjalankan fungsi pengawasan perbankan. Dan sudah saatnyalah BI legowo untuk melepaskan tugas ini ke lembaga lain. Tidak ada lagi polemik dalam UU OJK yang selama ini menuai pro dan kontra. Karena sudah terbukti bahwa Indonesia saat ini perlu kelembagaan OJK yang berdiri sendiri dan melakukan pengawasan terhadap perbankan. Bila pemerintah dan DPR arif maka secepatnyalah pembahasan UU OJK dipercepat dan di undang-undangkan.

DPR : GEDUNG MEWAH, HIDUP MEWAH, KINERJA LEMAH

Polemik tentang pembangunan gedung baru DPR sungguh menyedihkan disaat kondisi perekonomian nasional saat ini masih mengalami banyak persoalan seperti kemiskinan, pengangguran dan ketidakadilan dalam pembangunan. Dengan menyerap anggaran sebesar Rp. 1,6 Triliun, ini sungguh ironi dimana angka tersebut luar biasa besar untuk kondisi APBN saat ini yang kembang kempis. Masih banyak program pembangunan yang sangat urgen bila dibandingkan dengan pembangunan gedung baru DPR tersebut.

  
Sungguh tidak dapat diterima akal sehat tentang apa yang diusulkan oleh DPR dalam pembangunan gedung baru tersebut. Mereka mengklaim ini bagian dari meningkatkan kinerj DPR. Selama ini mereka beranggapan bahwa gedung lama tidak representatif lagi untuk mendukung kinerja DPR. Kita jadi tertawa dan berpikir, apa iya sebuah kinerja dihubungkan dengan pembangunan gedung baru yang super mewah. Bagi kami itu hanya alasan yang mengada-ada dan tidak logis.

Pertama, coba kita bandingkan kinerja DPR priode 2009-2014 dengan kinerja DPR priode 1999-2004, sungguh jauh kinerjanya. Secara fungsi, tugas dan tanggung jawab ternyata DPR priode 1999-2004 itu lebih baik dari sekarang. Coba kita bandingkan fasilitas yang mereka miliki jauh lebih sedikit dan gedungnya pun sama. Jadi kalau dari sisi perbandingan ini saja sudah ditemukan ketidaksesuaian antara kinerja dengan pembangunan gedung baru yang super mewah.

Kedua, perkembangan teknologi informasi sudah tidak mengharuskan seseorang bekerja di dalam satu ruangan khusus. Dimana pun, kapan pun dan dalam kondisi apa pun seseorang dapat bekerja karena perkembangan teknologi yang luar biasa canggih ini. Jadi ketika DPR memberikan alasan bahwa ruangan yang mereka miliki tidak representatif terhadap tim kerja yang mereka miliki maka mereka mengusulkan gedung baru yang representatif. Ini kembali tidak logis dalam era kemajuan teknologi saat ini.

Ketiga, dari proses perencanaan dan penganggarannya sudah ditemukan ketidaklogisan. Estimasi anggaran sangat tinggi dan tidak logis. Ini terbukti ketika diadakan proses efisiensi ternyata dana yang dibutuhkan berkurang sebesar Rp. 600 milyar. Ini aneh dalam sebuah studi kelayakan. Mana mungkin revisi terhadap studi kelayakan awal bisa mencapai penguranggan biaya yang sangat tinggi. Bagi kami konsultan ini ada indikasi mark up biaya dalam melakukan estimasi terhadap kebutuhan dana. Dan bisa jadi mafia proyek bermain disini yang melibatkan para anggota DPR. Dan pantas saja mereka ngotot dengan pembangunan gedung baru ini karena mereka sudah deal diawal dengan kontraktor.

Keempat, seharusnya masyarakat dilibatkan dalam setiap proses pembangunan gedung baru DPR. Karena dalam model demokrasi, anggota DPR merupakan bagian perwakilan rakyar di legislatif. Mereka ini harus tunduk terhadap konstituen bukan sebagai bos bagi konstituen. Sudah seharusnyalah sistem pengawasan DPR dikembalikan kepada rakyat dan begitu juga dalam pembangunan gedung baru ini, rakyatlah yang menentukan bukan anggota DPR.

Kelima, dalam rangka efisiensi anggaran dan prioritas pembangunan maka sangat tidak logis anggaran yang besar tersebut digunakan untuk pembangunan gedung baru DPR yang bukan menjadi prioritas utama saat ini. Masih banyak penduduk miskin yang membutuhkan program bantuan pemerintah. Masih banyak terdapat gedung-gedung sekolah yang tidak layak. Tidak sedikit infrastruktur publik yang rusak dan tidak ada saat ini. Dan kita dihadapi kondisi krisis pangan dan perubahan iklim yang nantinya berpengaruh terhadap kelangsungan hidup masyarakat secara luas.

Untuk itu, sudah saatnya polemik pembangunan gedung baru DPR dihentikan. Dan satu kata, untuk saat ini tidak layak untuk dibangun. Jangan paksakan kehendak para anggota dewan. Anda bukan bos dari rakyat, anda adalah pesuruh rakyat, jangan biarkan kami ambil kekuasaan anda dan kami turun lagi ke gedung bundar untuk mengambil hak kami.